MAKALAH
TAFSIR
AL-QUR’AN
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah: Al-Qur’an dan Hadist
Tugas Mata Kuliah: Al-Qur’an dan Hadist
Dosen Pengampu: M. Jamil, M.AG
Disusun Oleh:
1.
NURIN NGAINI
RIZQUNA (16670017)
2.
AHMAD ALBAR
FUAD (16670018)
3.
NAFISATUL
MUTHMAINNAH (16670019)
4.
ONY HARDIKA ROSFANI
(16670020)
5.
NABILA RIZKA
IRBAH LA MOMA (16670021)
JURUSAN
PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS ILMU SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
FAKULTAS ILMU SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji serta syukur marilah panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah, nikmat dan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda besar kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus, sehingga kita
dapat membedakan mana yang haram dan mana yang di halalkan oleh Allah SWT.
Alhamdulillah,
berkat rahmat dan karunia Allah SWT, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan
dengan judul “Tafsir Al-Qur’an”.
Maka dalam kesempatan ini kami menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Drs. H. Akhmad
Minhaji, MA,. Ph.D. selaku Rektor UIN Sunan
Kalijaga.
2. Dr. Murtono, M.Si,
selaku Dekan Fakultas Ilmu Sains dan Teknologi.
3. Bapak Karmanto, S.Si.,
M.Sc.selaku Kaprodi Pendidikan kimia.
4. Bapak M. Jamil, M.
AG. selaku dosen mata kuliah Al-qur’an dan hadist.
Tak lupa kami ucapkan mohon maaf karena kami pun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya. Aaamiin.
Wassalamualaikum wr.wb
Yogyakarta, 21 September
2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................
ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah..............................................................................
1
C.
Tujuan Penulisan................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Al-Qur’an.............................................................
2
B.
Bentuk Tafsir Al-Qur’an...................................................................
3
C.
Metode Tafsir
Al-Qur’an...................................................................
13
D.
Kaidah Penafsiran
Al-Qur’an...........................................................
17
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan..........................................................................................
24
B.
Kritik dan Saran.................................................................................
24
Daftar Pustaka..................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-qur’an merupakan firman Allah
SWT yg diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril, didalamnya
berisi tentang berbagaimacam ilmu-ilmu ketauhidan, syariat, aqidah, muamalah
dan ilmu-imu yang lain.
Al-Qur’an
merupakan kitab penyempurna dari tiga kitab yang diturunkan Allah SWT kepada nabi-nabi
sebelumnya yaitu Taurat, Injil dan Zabur. Ciri bahasa Al Quran adalah global atau
masih bersifat umum, oleh karenanya dalam memahami Al Quran
dibutuhkan penafsiran secara mendalam.
Penafsiran
Al Quran yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW kemudian berlanjut
pada masa sahabat-sahabat nabi diteruskan oleh tabiin, didalam Al-Quran akan
banyak dijumpai ayat-ayat yang menyebutkan tentang ke Esaan Allah SWT,
bagaimana eksistensi Allah dalam segala hal serta janji-janji Allah dan fitrah
mengenal Allah.
Dalam
makalah ini kami akan mencoba membahas tentang Tafsir Al-Qur-an serta memberi
sedikit gambaran tentang tafsir itu sendiri.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian Tafsir Al-Qur’an ?
2.
Bagaimana bentuk Tafsir Al-Qur’an ?
3.
Bagaimana metode Tafsir Al-Qur’an ?
4.
Apa Kaidah penafsiran Al-Qur’an ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Memahami pengertian Tafsir Al-Qur’an
2.
Memahami Bagaimana bentuk Tafsir Al-Qur’an
3.
Memahami Bagaimana metode Tafsir Al-Qur’an
4.
Memahami kaidah penafsiran Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Al-Qur’an
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-idhah
wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
(٣٣) وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا
جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya:
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan
25:33).
Dari segi terminologis
bermacam definisi dibuat oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :
1.
Abu Hayyan, menurutnya tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan
tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun
dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
2.
Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir
adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3.
Az-Zarqani, menurutnya tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT
sebatas kemampuan manusia.
Sekalipun telah
diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi di atas
sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan
penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak
diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan
Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan
tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan
Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia,
para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya yang
berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan kaidah penafsiran mereka juga
berbeda-beda.
B. Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Penafsiran secara garis besar dibagi menjadi tiga : Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bir Ra’yi dan Tafsir Isyari. Berikut penjelasan
masing masing bentuk tafsir.
1.
Tafsir bil Ma'tsur
Tafsir bil Ma’tsur merupakan tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur'an atau
riwayat yang sahih yang sesuai dengan urutan dalam syarat-syarat mufassir.
yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah,
perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau
dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi'in. Pada umumnya mereka menerimanya dari
para sahabat[1].
Imam Al-hakim berkata; "sesungguhnya tafsir para
sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunnya adalah memiliki hukum marfu'
artinya, bahwa tafsir para sahabat itu mempunyai kedudukan hukum yang sama
dengan hadis nabawi yang diangkat kepada Nabi SAW. dengan demikian, tafsir
sahabat itu termasuk ma'tsur[2]
Adapun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur
karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat. Ada pula yang berpendapat,
tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran dengan pendapat).
Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan mufassir yang
hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab[3]
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur'an pada masa ini
berpegang pada:
a.
Al-Qur'an al-Karim
Apa yang dikemukakan
secara global di satu tempat di jelaskan secara terperinci di tempat yang lain.
Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian
disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah ynag
dinamakan "tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an"
b.
Nabi Muhammad SAW
Beliaulah pemberi
penjelasan (penafsir) al-Qur'an otoritas. Ketika para sahabat mendapatkan
kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad SAW
untuk memberi penjelasan terhadap ayat tersebut.
c.
Pemahaman dan ijtihad.
Para sahabat apabila
tidak mendapatkan tafsir dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah, mereka melakukan
ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat
menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an
yang ada di dalamnya[4]
Kalau di kalangan
sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir, di kalangan tabi'in yang
notabenenya menjadi murid mereka pun, banyak pakar dibidang tafsir.
dalam menafsirkan, para tabi'in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa
para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Tafsir yang dinukil
dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur'an. mereka
hanya menafsirkan bagain-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang
semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap
di saat manusia bertambah jauh dari masa nabi dan sahabat. Masa para tabi'in
yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian
kekurangan ini. karenanya mereka pun menambahkan ke dalam tafsir
keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu
muncullah generasi sesudah tabi'in. generasi ini pun berusaha menyempurnakan
tafsir al-Qur'an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka
atas bahasa Arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa turunnya al-Qur'an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman
serta sarana pengkajian lainnya[5]
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir
yang dapat diringkas sebagai berikut:
1.
Akidah yang benar
2.
bersih dari hawa nafsu
3.
menafsirkan lebih
dahulu al-Qur'an dengan al-Qur'an
4.
mencari penafsiran dari
sunnah
5.
Apabila tidak
didapatkan penafsiran dalamn sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat para
sahabat
6.
Apabila tidak ditemukan
juga penafsiran dalam al-Qur'an, sunnah, dan pandangan para sahabat, maka
sebagaina besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada pendapat para tabi'in,
seperti mujahid bin Jabr, Sa'idn bin Jubair, dan lain-lain
7.
Pengetahuan bahasa Arab
yang baik
8.
pengetahuan tentang
prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan al-Qur'an, seprti ilmu qira'at
9.
pemahaman yang cermat[6]
2.
Tafsir bir Ra'yi
Secara bahasa al-ra'yu berarti al-I'tiqadu
(keyakinan) ,al-'aqlu (akal) dan al-tadbiru ( perenungan). Ahli
fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra'yu.
Karena itu tafsir bi al-ra'yu disebut sebagai ashab al-ra'yu.
karena itu tafsir bi al-ra'yi disebut tafsir bi al-'aqly dan bi
al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
Menurut istilah, tafsir bi al-Ra'yi adalah
upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli
tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya,
mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair
Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan
mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan
seorang mufassir[7]
Jadi jelas, bahwa tafsir bir-ra'yi bukanlah sekedar
berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas
dalam pikiran seseorang, apalagai hanya semaunya saja[8]
oleh karana itu jika menfsirkan al-Qur'an dengan
ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak
boleh dilakukan, firman Allah:
وَ لاَتَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ
" dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang padanya kamu tidak
mempunyai pengetahuan" (al-Israa:36)
Tentang penggunaan akal dan pemikiran filsafat secara sehat dan benar, maka
hal itu dibenarkan dalam al-Qur'an, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an,
bahwa bila kita Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, dan
dalam rangka menjaga mufassir agar tidak melakukan kesalahan dan menafsirkan
al-Qur'an, maka perlu rambu-rambu atau syarat-syarat bagi seseorang untuk
menafsirkan al-Qur'an. berikut ini syarat-syarat bagi mufassir dalam
menafsirkan al-Qur'an:
a.
Mengetahui hadits Nabi
baik dari sisi riwayah maupun dirayah
b.
Mengetahui bahasa Arab
c.
Menguasai ilmu nahwu
d.
Menguasai ilmu sharaf
e.
Mengetahui sumber
pengambilan kata
f.
Mengetahahui ilmu
balaghah
g.
Mengetahui ilmu qira'at
h.
Mengetahui ilmu
ushuluddin (Islamic Theology), seperti ilmu tauhid
i.
Mengetahui ilmu ushul
Fikih
j.
Mengetahui sebab-sebab
turun ayat
k.
Mengetahui kisah-kisah
di dalam al-Qur'an
l.
Mengetahui nasikh dan
mansukh
m.
Harus mengamalkan apa
yang dia ketahui.
1. Kelebihan Tafsir bir Ra'yi
a) Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka
merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوْا اَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا ْالاَلْبَابِ
Artinya: (inilah)
kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal"
(QS.Shad:29)
"merenung dan
berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami
rahasia-rahasia al-Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya.
b) Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar
kembali kepada ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
وَلَوْ رَدُّوْهُإَلَى
الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِى اْلاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ
يَسْتَنْبِظُوْنَهُ مِنْهُمْ
Artinya:
“kalau mereka serahkan hal itu kepada
rasul atau pada orang yang mempunyai urusan di anatar mereka, noscaya
orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui akan hal ini” (QS.An-Nisa:83)
Istinbath berarti menggali dan
mengeluarkan makna-makna yang mendalam yang terdapat di lubuk hati. Istinbath
itu hanya bisa dilakukan dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Al-Qur'an
c) Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak
diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini
tidak benar
d) Sesungguhnya para sahabat telah emmbaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam
menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidakm semua yang mereka katakana
tentang al-Qur'an tiu mmereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak
menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan beliau terangkan kepada
mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang sebagain,
yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad[1][9]
2. Kekurangan Tafsir bir Ra'yi
a)
Sesungguhnya tafsir
bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa berdasarkan suatun
ilmu, ini jeklas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah SWT
وَاَنْ تَقَولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya: ….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah tentang
sesuatu yang tidak kamu ketahui
b) Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan
AL-Qur'an dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
اِتَّقُوا الحَدِيْثَ
عَلَيَّ إِلاَّ مَا عَلِمتُمْ فَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْاَنِ
بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya : takutlah
engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu.
barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya
di neraka. Dan barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka
ambillah saja tempat duduknya di neraka (HR at-Turmudzi)
c) Firman Allah SWT
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُوْ
يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : Dan Kami
turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan kepada
manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka memikirkannya
(QS.an-Nahl;44)
Pada ayat itu Allah menyandarkan keterangan kepada rasulullah
SAW, karena itu dapatlah diketahui bahwa tidak ada bagi selain beliau yang
mampu memberikan keterangan terhadap makna-makna al-Qur'an
d) Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan
pendapat mereka. Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
3. Tafsir Isyari
Kata al-‘isyarah merupakan bentuk sinonim (muradif)
dari kata ad-dalil yang berarti tanda, petunjuk, isyarat, sinyal,
perintah, panggilan, nasehat, dan saran. Tafsir Isyari menurut istilah adalah
mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya
isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf dan
mampu memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga
dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan.
Dalam diskursus ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah,
tarikah, haqiqah. Syari’ah yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir yang
ditentukan misalnya seperti hukum halal, haram, sunah, makruh dan sebagainya.
Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Sedangkan tarikah jalan lurus yang ditempuh oleh seorang salik untuk
mendapatkan keridha’an-Nya dalam rangka mengerjakan syari’at, seperti sikap ikhlas,
muqarabah, muhasabah tajarrud, ‘isyq, hub dan sebagainya. Sedangkan haqiqah
yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang merupakan puncak perjalanan spiritual
seseorang.
Ketiga dataran tersebut harus dilihat dengan paradigma
structural sekaligus fungsional, dimana satu dengan lainnya tidak boleh
dipisah-pisahkan. Sebagaimana disebut dalam kitab Bidayah al-Azkiya’,
bahwa hubungan ketiga dataran (syari’ah, tarikah, dan haqiqah) digambarkan
sebagai berikut:
فشريعة كسفينة و طريقة كالبحر ثم حقيقة در غلي
“Syari’at itu ibarat perahu, sedangkan tarikat
bagaikan laut dan hakikat itu inti mutiaranya yang mahal .”
Dalam syarh kitab tersebut dijelaskan bahwa
meskipun seseorang telah mencapai tingkatan hakikat, ia tetap terkena taklif
(tugas) syari’at untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur’an dan
hadits.
a.
Beberapa Persyaratan tentang Tafsir Isyari
Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar
pada tiga hal pokok, yakni :
1.
Tafsir mengenai lafaz
(Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama
muta`akhkhirin (Ulama modern),
2.
Tafsir tentang makna,
yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan
3.
Tafsir mengenai isyarat
(Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain.
b. Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1.
Tidak bertentangan
(ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
2.
Penafsirannya diperkuat
oleh dalil syara` yang lain.
3.
Penafsirannya tidak
bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
4.
Penafsirannya tidak
mengakui atau mendakwakan bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang
dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
c. Tanggapan Ulama mengenai Tafsir Isyari
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada
yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak
membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan
sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi
sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang
sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam.
Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya
mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan
maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya,
apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh
manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan
kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk
pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu
`Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin,
keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang
siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang
siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an
mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam
dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara
batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”
d. Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Isyari
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang
mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa
kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
1.
Tafsir Isyari mempunyai
kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa
contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman
Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut
tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
2.
Apabila Tafsir Isyari
ini, memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama
tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan
Al-Qur`an dan Hadits.
3.
Penafsiran secara
Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada
orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan,
seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4.
Penafsiran Isyari mempunyai
pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir
kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian
ma`rifat.
5.
Tafsir Isyari atau
tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual
atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat.
Hal ini mereka memiliki dua kelebihan, yaitu:
·
Pertama, menguasai
makna lahir ayat atau hadith.
·
Kedua, memahami makna
isyaratnya.
e. Kekurangan atau Kelemahan Tafsir Isyari
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari
terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir
mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini
terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai
berikut :
1.
Apabila Tafsir Isyari
ini, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka
tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan
dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
2.
Tafsir Isyari yang
telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran
kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama
sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani
mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut
bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir
Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab
Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu
kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
3.
Penafsiran secara
Isyari, kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang
sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap
orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya
menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebuah perntara.
C. Metode Tafsir Al-Qur’an
Metode
adalah suatu tata cara yang dipergunakan untuk mengerjakan atau menyelesaikan
sesuatu guna mencapai suatu hasil.
“Tafsir
Al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang
bersangkutan dengan Al-Qur’an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelas).” (Aldio Yudha Trisandy, 2016, dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Alquran),
15 September 2016).
Sehingga
dapat diartikan bahwa metode Tafsir Al-Qur’an adalah suatu tata cara kerja yang
digunakan dalam memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an dan isinya sebagai suatu penjelas. (Aldio Yudha
Trisandy, 2016, dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Alquran),
15 September 2016).
Metode
Tafsir Al-Qur’an secara umum dibagi menjadi 4 macam, yaitu Tafsir Tahliliy
(Analisis), Tafsir Ijmali (Global), Tafsir Muqaran (Perbandingan) dan Tafsir
Maudhu’in (Tematik). Keempat Tafsir tersebut akan dipaparkan di bawah ini.
1. Tafsir Tahliliy (Analisis)
“Tafsir
Tahliliy (Analisis) adalah upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengkaji
ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi
surat sesuai dengan urutan dalam Mushaf Usmani. Pengkajian metode ini ditempuh
dengan mengurai kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang di istinbatath-kan
dari ayat serta mengemukakan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat
sebelum dan sesudahnya. Untuk itu mufasir merujuk kepada sebab-sebab turun
ayat, hadits-hadits Rasulullah SAW dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.”
(Rodiah, dkk, 2010: 5).
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bial-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan
ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang
bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya
(ayat-ayat 3-5) yang artinya :
“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan
kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah
diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.”
Penafsiran yang mengikuti metode
tahliliy dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat)
atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab tahliliy yang
mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah :
a.
Jami’ al-Bayan
‘anTa’wilal-Qur’anal-Karim, karangan Ibn Jariral-Thabari (w. 310 H) dan
terkenal dengan Tafsir al-Thabari;
b.
Ma’alimal-Tanzil,
karangan al-Baghawi (w. 516 H);
c.
Tafsir
al-Qur’anal-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
d.
Al-
Durral-Mantsurfial-Tafsir bial-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H).
Adapun tafsir tahliliy yang
mengambil bentuk ra’y banyak sekali, antara lain :
a.
Tafsir
al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H);
b.
Anwar al-Tanzil
wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H);
c.
Al-Kasysyaf,
karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H);
d.
Araisal-Bayan
fiHaqaiqal-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H);
e.
Al-Tafsir
al-Kabir waMafatihal-Ghaib, karangan al-Fakhral-Razi (w. 606 H);
f.
Al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
g.
Tafsir al-Manar,
karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain.
2.
Tafsir
Ijmali (Global)
“Tafsir Ijmali (Global) adalah metode
penafsiran Al-Qur’an atau cara dengan secara singkat dan global, tanpa uraian
panjang lebar. Mufasir menjelaskan arti dan makna ayat secara singkat yang
dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain yang
dikehendaki.” (Rodiah, dkk, 2010: 6).
Dalam metode ini mufasir menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan urutan mushaf tanpa perbandingan dan penetapan judul.
Metode ini menafsirkan dengan bahasa yang umum atau global sehingga jelas dan
mudah dimengerti, namun tetap akrab dengan bahasa Al-Qur’an. namun dalam metode
ini mufasir tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat serta ide-idennya.
Kitab tafsir yang tergolong dalam
metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir
Al-Qur’anal-Karimkarangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir
al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhutsal-Islamiyyat, dan Tafsir
al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman
al-Mirghani.
3.
Tafsir
Muqarin (Perbandingan)
“Tafsir Muqarin (Perbandingan) adalah
upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Qur’an,
kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, dan
mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecendrungan
masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.” (Rodiah, dkk, 2010:
6). “Pengertian metode muqarin dapat diartikan sebagai berikut :
a.
Metode yang
membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan redaksi dalam satu
atau dua kasus dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama;
b.
Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW yang lahirnya terlihat bertentangan;
c.
Membandingkan
berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.” (Bambino,
2013, dari https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/,
15 September 2016).
Jadi dilihat dari pengertian tersebut
dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu :
a.
Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua
atau lebih masalah atau kasus yang berbeda atau ayat-ayat yang memiliki redaksi
berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama.
b.
Membandingkan ayat dengan
Hadits;
Mufasir
membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits Nabi SAW yang terkesan
bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya.
c.
Membandingkan
pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama
tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir
al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bial-ra’yi).
4.
Tafsir
Mawdhu’iy (Tematik)
“Tafsir Mawdhu’iy (Tematik) ialah upaya
menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang
berbicara tentang satu masalah (tema) serta mengarah pada satu pengertian dan
satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu cara turunnya berbeda, tersebar pada
berbagai surat dalam al-qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya.”
(Rodiah, dkk, 2010: 6).
Dengan demikian, dapat digaris bawahi
bahwa metode ini menonjolkan tema atau topik, yang mana tema ataupun topik itu
berasal dari masyarakat ataupun dari Al-Qur’an itu sendiri. Dalam metode ini,
mufasir menghimpun dan mengkaji secara mendalam serta menyeluruh ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema yang dibahas, dan juga mencari berbagai
persamaan dan petunjuk didalam ayat-ayat tersebut. Kemudian hasil penafsiran
tersebut dijelaskan secara rinci dengan menyertakan bukti berupa dalil-dalil
ataupun argumen-argumen yang sifatnya rasional yang berasal dari Al-Qur’an
maupun Hadits. (Bambino,
2013, dari https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/,
15 September 2016).
“Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay
Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar,
dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara
rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan
metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
a.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik);
b.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
c.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan
tentang asbabal-nuzulnya;
d.
Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
e.
Menyusun pembahasan
dalam kerangka yang sempurna (out-line);
f.
Melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
g.
[2]Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara
yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak
danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.” (Bambino, 2013, dari https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/, 15 September 2016).
D. Kaidah Penafsiran Al-Qur’an
1.
Pengertian
kaidah tafsir
Kaidah-kaidah tafsir dalam bahasa arab di
kenal dengan istilah qowaid al-tafsir. Qowaid merupakan bentuk jamak dari kata
qoidah yang artinya undang-undang, peraturan, dan asas. Secara istilah
didefinisikan dengan undang-undang, sumber,dasar yang di gunakan secara umum
yang mencakup semua yang partikular.[10]
Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari
kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan atau
menampakkan.[11] Sedangkan menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu
Hayyan,tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh
Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya,baik ketika berdiri
sendiri ataupun tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan
tersusun, serta hal-hal yang melengkapinya.[12] secara singkat,kata tafsir
menurut istilah adalah alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami
petunjuk-petunjuk al-qur’an.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
kaidah-kaidah tafsir diartikan sebagai pedoman dasar yang di gunakan secara
umum untuk mendapatkan pemahaman atas
petunjuk-petunjuk al-qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu
aktivitas yang senantiasa berkembang, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat
jika dilihat sebagai prosedur kerja.
2.
Kaidah-
Kaidah Ilmu Tafsir
Kaidah-kaidah ilmu tafsir al-qur’an
memiliki manfaat yang besar, yakni dapat membantu kita dalam memahami
kalamullah dan menjadikannya penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang
sempurna. Adapun kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an scara umum menurut Badr al-
Din Muhammad bin Abd Allah al- Zarkasyi dan Jamal al-Qasimi ada empat kaidah
penafsiran yaitu:
a.
Pengambilan
riwayat dari Nabi Muhammad SAW.
b.
Mengambil
pendapat sahabat (Qoul al-Shahabi)
c.
Melalui
pendekatan kebahasaan yang mereka sebut dengan istilah al- Akhidz bi Muthlaq al- lugah.
d.
Penafsiran yang
dilakukan didasarkan atau disesuaikan dengan makna teks (ayat), atau redaksi darikekuaran syara’.[13][3]
Sedangkan secara umum kaidah penafsiran ada
lima, yaitu kaidah qur’aniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh,dan kaidah ilmu pengetahuan. Berikut penjelasan
kelima kaidah tersebut.
a. Kaidah
Qur’aniyah
Kaidah
Qur’aniyah adalah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari
al-Quran. Beberapa kaidah yang digunakannya antara lain:
1. ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ
Maksud qaidah ini yaitu jika satu nas menggunakan redaksi yang
bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan nas tersebut,
sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Qoidah ini
di pegang oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif.[14][4]
misalnya pada QS. Al-Maidah: 38
ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur
ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
a)
Menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar
belakang dan sabab al-nuzul. Maksudnya yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana, maka Ia memerintahkan memotong tangan pencuri dan menetapkan sanksi
kepada orang-orang yang melampaui batas sebagai hukum, takdir, dan ganjaran
bagi mereka.
b)
Mengetahui sebab
nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas
peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya. Maksudnya yaitu Allah Maha
Bijaksana maka apabila orang tersebut bertaubat dan kembali ke jalan Allah,
maka Allah akan mengampuni dan mengasihinya. Maka demikian pula hendaknya kita
sebagai manusia juga bisa memaafkan orang tersebut
2. Kandungan suatu
ayat yang memiliki
keterkaitan dengan nama
Allah menunjukkan bahwa hukum yang terkandung berkaitan dengan nama yang
mulia. Misalnya QS. Al-Baqarah: 32
ﻗﺎﻠﻭﺍﺴﺑﺤﻧﻚﻻﻋﻠﻢﻠﻧﺎﺍﻻﻤﺎﻋﻠﻤﺗﻧﺎﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ
Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat
tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan dengan
para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Kekeliruan pandangan malaikat ini di gambarkan dalam ungkapan ﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ.
3. Kaidah
yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat.
Ayat
yang muhkamaat adalah ayat-ayat yang terang dan jelas
maksudnya serta mudah dipahami. Sedangkan pengertian ayat musyabihaat ialah ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.[15]
b. Kaidah
sunnah
Berdasarkan QS An-Nahl ayat 44 dan
64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang
diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka rasul merupakan sumber penjelas tentang
makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi
menurut wahyu Ilahi. [16][5]
Kaidah
yang dipergunakan diantaranya ialah:
1. Sunnah harus
dipakai sesuai dengan
petunjuk Al Quran. Secara logika
penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan al-Quran sebagai materi yang
dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw selalu dalam kerangka
al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya hadis shahih yang
bertentangan dengan al-Quran.
2. Menghimpun hadis
yang pokok bahasannya
sama. Hadis yang
dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang shahih, yaitu dengan cara
mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang
mutlak kepada yang muqayyad, dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian, akan
didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan
bahwa hadis berfungsi manafsirkan al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan
makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap, dan sebagainya.
c. Kaidah
Bahasa
Kalam Allah di turunkan kepada manusia dengan
berbahasa arab. Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain bagi umat islam
untuk memahaminya kecuali dengan memahami dan menguasai bahasa arab. Berikut
beberapa kaidah yang harus di pahami:
1.
Kaidah Dhomir
2.
Kaidah Isim
ma’rifat dan isim nakiroh
3.
Kaidah Soal dan
jawab.
4.
Kaidah jumlah
ismiyah dan jumlah fi’liyah
5.
Kaidah mufrad
dan jamak
6.
Kaidah istifham
adalah salah satu gaya bahasa yang di gunakan Al-Qur’an memberikan pengertian
bahwa lawan bicara telah mengetahui apa yang di tetapkan dan apa yang di
nafikan.
d. Kaidah
Ushul Al-fiqh
1.
Kaidah yang
berkaitan dengan al-amr wa al-nahyi
Al-amr
adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih
tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan
kebalikan dari al-amr.
2. Kaidah-kaidah
ushuli lainnya antara lain:
a)
Am
dan Khas
b)
Mujmal
dan mubayyan
c)
Manthuq
dan mafhum
d) Muthlaq
dan muqoyyad
e)
Hakikat
dan majas
e. Kaidah
ilmu pengetahuan
Di
samping kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, seorang mufasir mesti memiliki
ilmu pengetahuan lainnya, seperti perubahan social dan ilmu pengetahuan
lainnya. Hal ini didasarkan atas prinsip al-Quran yang diturunkan sebagai rahmah li al-‘alamin. Dengan demikian
maka al-Quran akan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
Contoh: ﺧﻹﻧﺴﺎﻟﻖﺍﻥﻣﻥﻋﻟﻖ. Ayat tersebut mengungkapkan tentang
penciptaan manusia. Para ulama berpendapat mengenai kejadian manusia dari kata ﻋﻟﻖ, yaitu darah beku atau segumpal darah yang
merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya. Pendapat tersebut
didukung pula oleh ayat-ayat lain dalam al-Quran, dan didukung pula oleh
beberapa hadis Rasul.[17]
3. Kaidah untuk mufassirin
Mufassir merupakan ahli tafsir atau orang
yang menerengkan makna(maksud) ayat AlQur’an. Dari segi syarat penafsir, khusus
bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, di temukan banyak syarat. Secara
umum dan pokok dapat di simpulkan sebagai berikut:
a. Pengetahuan
tentang bahasa arab dalam berbagai bidangnya
b. Pengetahuan
tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh.
c. Pengetaahuan
tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan
d. Pengetahuan
tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahassan ayat.
Bagi mereka yang tidak
memenuhi syarat-syarat di atas, tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Qur’an.[18][6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara
terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud
ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam
definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani
bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut
sebatas kemampuan manusia.
Penafsiran secara garis besar dibagi menjadi tiga : Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bir Ra’yi dan Tafsir Isyari. Berikut penjelasan
masing masing bentuk tafsir. Tafsir bil
Ma’tsur merupakan tafsir yang berdasarkan
pada Al-Qur'an atau riwayat yang sahih yang sesuai dengan urutan dalam
syarat-syarat mufassir. Tafsir bi
al-Ra'yi adalah upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar
ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari
segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti
syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul,
mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu
lain yang dibutuhkan seorang mufassir. Tafsir
Isyari adalah mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna
lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh
jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan
makna lahiriyah yang juga dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan.
Metode
adalah suatu tata cara yang dipergunakan untuk mengerjakan atau menyelesaikan
sesuatu guna mencapai suatu hasil. Metode Tafsir Al-Qur’an secara umum dibagi menjadi 4 macam, yaitu Tafsir
Tahliliy (Analisis), Tafsir Ijmali (Global), Tafsir Muqaran (Perbandingan) dan
Tafsir Maudhu’in (Tematik). Dari keempat metode tersebut, yg paling dianjurkan
adalah metode Tafsir Tahliliy (Analisis) dan Tafsir Maudhu’in (Tematik) karena
lebih detail dan mudah untuk dimengerti.
Dalam
menafsirkan Al-Qur’an kita juga perlu memperhatikan kaidah penafsiran (syarat
dan ketentuan yang harus diperhatikan munfasir dalam penafsiran).
Secara umum kaidah penafsiran ada lima, yaitu kaidah qur’aniyah, kaidah sunnah,
kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan
kaidah ilmu pengetahuan. Selain kaidah penafsiran juga ada kaidah untuk
menjadi seorang munfasir diantaranya : faham mengenai bahasa arab, pengetahuan
tentang ilmu Al-Qur’an, pengetahuan tentang ilmu agama, dan juga pengetahuan
tentang ilmu penafsiran ayat.
B.
Kritik dan Saran
1. Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi perbaikan
dan kesempurnaan Makalah ini.
2. Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan
dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati
agar lebih membaca buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “Tafsir
Al-Qur’an”
3. Jadikanlah Makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i
berfikir secara mendalam dan dorongan untuk lebih mempelajari Ilmu Tafsir
Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M.Quraisi.
2009. Membumikan Al-Qur’an. Bandung:Mizan
Hamzah,
Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
https://mahadulilmi.wordpress.com/2014/12/29/tafsir-isyari-syarat-corak-kekurangan-dan-kelebihan-serta-kitab-kitab-yang-menggunakan-metode-isyari/ waktu 20.00
2016-09-13
Trisandy, Aldio Y. 2016. Tafsir. [Online].
Tersedia: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Alquran). [15 September 2016].
Bambino.
(2013). Macam-Macam Metode Penafsiran Al-Qur’an. [Online]. Tersedia: https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/.
[15 September 2016].
Rodiah,
dkk. 2010. Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep.Yogyakarta: eLSAQ Press.
Shihab,
M.Quraisi. 2009. Membumikan Al-Qur’an.
Bandung:Mizan
https://greatquranhadis.wordpress.com/kaidah-penafsiran-al-quran/.
Di akses pada tanggal 12 september, pukul 22:10.
https://ruisme.wordpress.com/2009/02/12/makalh-kaidah-tafsir/.
Diakses pada tanggal 12 september 2016, pukul 22:20
http://nitanurrachmawatiatmasari.blogspot.co.id/2010/12/kaidah-kaidah-ilmu-tafsir-al-quran.htm
. Diakses pada tanggal 13 september 2016, pukul 23:41
https://www.scribd.com/doc/259026593/kaidah-kaidah-dalam-menafsirkan-al-Qur-an-pdf
, di akses pada tanggal 13 september 2016, pukul 23:42.
Umar’s
family. Memahami kaidah tafsir Al-Qur’an. http://keluargaumarfauzi.blogspot.co.id/2015/01/kaidah-kaidah-tafsir_12.html
. Di akses pada tanggal 15 september 2016, pukul: 23:12
[2]Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: pustaka Amani, 2001)hlm 106
[3] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni 106
[4] Terj Aunur Rafiq, op.Cit hlm 426
[5] Terj Aunur Rafiq ibid hlm 426
[6] Terj Aunur Rafiq Op.Cit hlm 414-417
[7] Anshori LAL, Op.Cit hlm 1
[8]Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni op.cit hlm 249
[10] Louis Ma’luf. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, cet. 38. Beirut: Dar
al-Masyriq. 1986. hlm.463
[11] Abu al-Husain Ahmad. Mu’jam
Maqayis al-Lughah, juz.4. Beirut: Dar al-Jail. 1976. hlm.13
[16] Abd Muin Salim. Beberapa
Aspek Metodologi Tafsir
al-Quran. Ujung Pandang:
LSKI. 1990. hlm. 67
0 komentar:
Posting Komentar