FENOMENA INKLUSI DI YOGYAKARTA

Pendidikan adalah salah satu sektor pembangunan yang pokok, dimana pemerintah di setiap negara harus benar-benar memperhatikan sektor ini agar seimbang bersama-sama dengan sektor pembangunan lainnya. Karena pendidikan sangat penting maka pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak dari setiap warga negara. Meletakkan pendidikan sebagai hak, memberikan sebuah beban bagi pemerintah untuk memberikan yang terbaik bagi penerima hak. Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.

Yogyakarta sejak dulu hingga sekarang dikenal sebagai kota yang ramah terhadap semua aspek masyarakat termasuk anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta berhasil meraih penghargaan dari UNESCO dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam ajang Inclusive Education Award sebagai kota yang berhasil melaksanakan pendidikan inklusif (Kedaulatan Rakyat, 4 September 2012). Pemerintah pusat mengakui bahwa Kota Yogyakarta mempunyai komitmen yang tinggi mengenai pendidikan yang ramah anak, non diskriminasi, dan menjunjung tinggi etika multi kultural sehingga layak mendapat predikat inclusive city (Widodo, 2012).  
Upaya yang telah berhasil dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta ini sangat mendukung perwujudan education for all sebagaimana tertuang dalam landasan yuridis, baik di lingkup nasional maupun internasional. Model pendidikan sebelumnya adalah pemisahan yang jelas antara pendidikan khusus dan pendidikan reguler yang membatasi kesempatan dan akses bagi ABK terhadap lingkungan sosial dan kurikulum (UNESCO, 1994; UN, 2009).
Implementasi pendidikan inklusi menemui banyak kendala. Salah satu faktor yang menghambatnya adalah faktor guru. Sikap para guru reguler yang sudah terbiasa mengajar anak normal memberikan kontribusi penghambat bagi kesuksesan praktik pendidikan inklusi (Avramidis, Bayliss, & Burden, 2000; Boer, Pijl, & Minnaert, 2010). Selain itu, guru reguler menunjukkan sikap negatif terhadap potensi ABK dibandingkan guru dari latar belakang pendidikan luar biasa (Brady & Woolfson, 2008; Woolfson & Brady, 2009)
Menurut hasil penelitian Ishartiwi (2010) di Yogyakarta, salah satu permasalahan yang muncul adalah belum semua guru regular memiliki kompetensi memberikan layanan pada ABK. Guru juga masih menganggap bahwa keberadaan ABK akan mempengaruhi ketuntasan hasil belajar akhir tahun sehingga guru memindahkan ABK ke SLB menjelang ujian nasional. Hal senada tentang guru juga disampaikan Susanto (2012) dalam penelitiannya bahwa terdapat timpang tanggung jawab antara guru kelas dengan guru pendamping khusus (GPK). Guru kelas merasa anak berkebutuhan khusus yang ada di kelasnya adalah tanggung jawab GPK termasuk materi pembelajarannya. Sementara itu, GPK merasa perlu adanya integrasi pembelajaran ABK dengan siswa reguler. Hal ini pada akhirnya berujung pada hubungan yang kurang harmonis antara guru kelas dan GPK. 
Terkait hasil penelitian (Parwoto, 2007) menunjukkan bahwa sekolah menerima anak berkebutuhan khusus sebagai calon siswa baru, namun guru-guru berkasak-kusuk tentang sejumlah kesulitan bila anak berkebutuhan khusus itu diterima. Sekolah juga merekayasa agar anak berkebutuhan khusus tidak jadi diterima di sekolah tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sikap pesimis para pendidik dalam mengupayakan layanan pendidikan terbaik bagi ABK.
Widiasti (2013) juga menyebutkan bahwa guru dalam penelitiannya secara terbuka mengungkapkan ketidaksediaan dalam mengajar dan menangani ABK jenis dan gradasi tertentu. Hal ini menunjukkan sikap guru yang kurang positif yang berarti guru belum menunjukkan kesiapan. Ketidaksiapan guru tersebut diakui karena kurang adanya pengalaman. Guru sebagai pihak yang terlibat langsung dalam interaksi dengan ABK perlu mempersiapkan diri untuk mampu menerima dan menangani siswa dengan berbagai keunikan dan hambatannya. 
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa guru merupakan salah satu kendala dalam implementasi pendidikan inklusi. Penerbitan SK dari Dinas Pendidikan ke sekolah-sekolah bisa jadi sebuah solusi untuk menjadi sekolah inklusi mempengaruhi iklim sekolah dan juga kondisi psikologis guru. Guru akan mempersepsi situasi di mana sekolahnya yang selama ini berisi anak normal saja, kini harus menerima ABK yang sama sekali asing baginya. Guru juga memiliki perasaan-perasaan yang beragam dalam menghadapi ABK. Persepsi seseorang terhadap pengalaman hidup yang terdiri evaluasi kognitif dan evaluasi afektif ini disebut sebagai kesejahteraan subjektif (Ariati, 2010). Guru akan melakukan evaluasi kognitif dan evaluasi afektif berkait dengan pendidikan inklusi yang kini dihadapinya. Artinya, kebijakan inklusi di sekolah tempat guru bekerja mempengaruhi aspek psikologis guru yaitu kesejahteraan subjektif. 

0 komentar:

Posting Komentar